Rabu, 17 Juni 2009

Adakah Bid'ah Hasanah (baik)


Banyak alasan yang dipakai orang-orang untuk ‘melegalkan’ perbuatan bid’ah. Salah satunya, tidak semua bid’ah itu jelek. Menurut mereka, bid’ah ada pula yang baik (hasanah). Mereka pun memiliki dalil untuk mendukung pendapatnya tersebut. Bagaimana kita menyikapinya?Di antara sebab-sebab tersebarnya bid’ah di negeri kaum muslimin adalah adanya keyakinan pada kebanyakan kaum muslimin bahwa di dalam kebid’ahan ini ada yang boleh diterima yang dinamakan bid’ah hasanah. Pandangan ini berangkat dari pemahaman bahwa bid’ah itu ada dua: hasanah (baik) dan sayyiah (jelek).Berikut ini kami paparkan apa yang diterangkan oleh Asy-Syaikh As-Suhaibani dalam kitab Al-Luma’: Bantahan terhadap Syubhat Pendapat yang Menyatakan Adanya Bid’ah HasanahSyubhat pertama:Pemahaman mereka yang salah terhadap hadits:“Barangsiapa membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat satu sunnah yang buruk di dalam Islam, dia mendapat dosanya dan dosa orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (Shahih, HR. Muslim no. 1017).BantahannyaPertama: Sesungguhnya makna dari (barangsiapa yang membuat satu sunnah) adalah menetapkan suatu amalan yang sifatnya tanfidz (pelaksanaan), bukan amalan tasyri’ (penetapan hukum). Maka yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang ada . Makna ini ditunjukkan pula oleh sebabrtuntunannya dalam Sunnah Rasulullah keluarnya hadits tersebut, yaitu sedekah yang disyariatkan.Kedua: Rasul yang mengatakan:“Barangsiapa yang membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam.”Adalah juga yang mengatakan:“Semua bid’ah itu adalah sesat.”Dan tidak mungkin muncul dari Ash-Shadiqul Mashduq (Rasul yang benar suatu perkataan yang mendustakan ucapannya yang lain. Tidakrdan dibenarkan) saling bertentangan.rmungkin pula perkataan beliau Dengan alasan ini, maka tidak boleh kita mengambil satu hadits dan mempertentangkannya dengan hadits yang lain. Karena sesungguhnya ini adalah seperti perbuatan orang yang beriman kepada sebagian Al-Kitab tetapi kafir kepada sebagian yang lain.Ketiga: mengatakan (barangsiapa membuat sunnah) bukan mengatakanrBahwasanya Nabi (barangsiapa yang membuat bid’ah). Juga mengatakan (dalam Islam). Sedangkan bid’ah bukan dari ajaran Islam. Beliau juga mengatakan (yang baik). Dan perbuatan bid’ah itu bukanlah sesuatu yang hasanah (baik).Tidak ada persamaan antara As Sunnah dan bid’ah, karena sunnah itu adalah jalan yang diikuti, sedangkan bid’ah adalah perkara baru yang diada-adakan di dalam agama.Keempat: Tidak satupun kita dapatkan keterangan yang dinukil dari salafus shalih menyatakan bahwa mereka menafsirkan Sunnah Hasanah itu sebagai bid’ah yang dibuat-buat sendiri oleh manusia.Syubhat kedua: Pemahaman mereka yang salah terhadap perkataan ‘Umar bin Al- Khaththab z: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah)”.Jawaban atas syubhat ini:1. Anggaplah kita terima dalalah (pendalilan) ucapan beliau seperti yang mereka maukan – bahwa bid’ah itu ada yang baik, namun sesungguhnya, kita kaum muslimin rmempunyai satu pedoman; kita tidak boleh mempertentangkan sabda Rasulullah dengan pendapat siapapun juga (selain beliau). Tidak dibenarkan kita membenturkan sabda beliau dengan ucapan Abu Bakar, meskipun dia adalah orang atau dengan perkataan ‘Umar binrterbaik di umat ini sesudah Nabi Muhammad Al-Khaththab zataupun yang lainnya.:UFirman Allah “(Kami mengutus mereka) sebagai rasul-rasul pemberi berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya para Rasul itu.” (An-Nisa`: 165)Sehingga tidak tersisa lagi bagi manusia satu alasan pun untuk membantah Allah dengan telah diutusnya para rasul ini. Merekalah yang telah menjelaskan urusan agama mereka serta apa yang diridhai oleh Allah. Merekalah hujjah Allah terhadap kita manusia, bukan selain mereka. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di t (secara ringkas) mengatakan: “Ayat ini mengajarkan kepada kita bagaimana beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, hendaknya kita berjalan (berbuat dan beramal) mengikuti perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya, jangan mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam segenap urusan. Dan inilah tanda-tanda kebahagiaan dunia dan akhirat.”Ibnu ‘Abbas c mengatakan: “Hampir-hampir kalian ditimpa hujan batu bersabda demikian...demikian, (tapi)rdari langit. Aku katakan: Rasulullah kalian mengatakan: Kata Abu Bakr dan ‘Umar begini…begini....”‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz t mengatakan: “Tidak ada (hak) berpendapat bagi siapapun dengan .”r(adanya) sunnah yang telah ditetapkan Rasulullah Al-Imam Asy-Syafi’i t mengatakan: “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas , tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah iturbaginya sunnah Rasulullah karena pendapat (pemikiran) seseorang.”Al-Imam Ahmad bin Hanbal t , berarti dia (sedang) beradarmengatakan: “Barangsiapa yang menolak hadits Nabi di tepi jurang kehancuran.”2. Bahwa ‘Umar z mengatakan kalimat ini tatkala beliau mengumpulkan kaum muslimin untuk shalat tarawih berjamaah. Padahal shalat tarawih berjamaah ini bukanlah suatu bid’ah. Bahkan perbuatan tersebut termasuk padarsunnah dengan dalil yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah x, bahwa Rasulullah suatu malam shalat di masjid, kemudian orang-orang mengikuti beliau. Kemudian keesokan harinya jumlah mereka semakin banyak. Setelah itu malam berikutnya ). Namun beliaur(ketiga atau keempat) mereka berkumpul (menunggu Rasulullah bersabda: rtidak keluar. Pada pagi harinya, beliau “Saya telah melihat apa yang kalian lakukan. Dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat bersama kalian) kecuali kekhawatiran (kalau-kalau) nanti (shalat ini) diwajibkan atas kalian.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1129)Secara tegas beliau menyatakan di sini alasan mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjamaah. ) sudah tidakrMaka tatkala ‘Umar zmelihat alasan ini (kekhawatiran Rasulullah ada lagi, beliau menghidupkan kembali shalat tarawih berjamaah ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan khalifah ‘Umar z ini mempunyai landasan yang sendiri.rkuat yaitu perbuatan Rasulullah Jadi jelas bahwa bid’ah yang dimaksudkan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab zadalah bid’ah dalam pengertian secara bahasa, bukan menurut istilah syariat. Dan jelas pula tidak mungkin ‘Umar berani yang telah menyatakan bahwa: “Semuarmelanggar atau menentang sabda Rasulullah bid’ah itu sesat.”Syubhat ketiga: Pemahaman yang salah tentang atsar dari Ibnu Mas’ud z:“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka dia adalah baik di sisi Allah.” (Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad, 1/379)Bantahan:- Atsar ini tidak shahih jika di-rafa’-kan (disandarkan) , tetapi ini adalah ucapan Ibnu Mas’ud zsemata.rkepada Rasulullah Dan diriwayatkan dari Anas ztetapi sanadnya gugur, yang shahih adalah mauquf (hanya sampai) kepada Ibnu Mas’ud z.- pada kata menunjukkan kepada sesuatu yang sudah diketahui. Dan tentunya yang dimaksud dengan kata Al-Muslimun di sini adalah para shahabat. Dan tidak ada satupun riwayat yang dinukil dari mereka yang menyatakan adanya bid’ah yang hasanah.- Kalaulah dianggap bahwa ini menunjukkan keumuman (maksudnya seluruh kaum muslimin), maka artinya adalah ijma’. Dan ijma’ adalah hujjah. Maka sanggupkah mereka menunjukkan adanya satu perbuatan bid’ah yang disepakati berdasarkan ijma’ kaum muslimin bahwa perbuatan itu adalah bid’ah hasanah? Tentunya ini adalah perkara yang mustahil.- Bagaimana mereka berani berdalil dengan ucapan beliau zseperti ini, padahal beliau sendiri adalah orang yang paling keras kebenciannya terhadap bid’ah, di mana beliau z pernah mengatakan:“Ikutilah! Dan jangan berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupkan. Dan sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah sesat.”(Shahih, HR. Ad-Darimi 1/69).Secara ringkas, semua keterangan di atas yang menunjukkan betapa buruknya bid’ah. Kami simpulkan dalam beberapa hal berikut ini, yang kami nukil dari sebagian tulisan Asy-Syaikh Salim Al-Hilali t:Cukuplah semua akibat buruk yang dialami pelaku bid’ah itu sebagai kejelekan di dunia dan akhirat, yakni:1. Amalan mereka tertolak, sebagaimana :rsabda Rasulullah “Barangsiapa yang membuat-buat sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal daripadanya, maka semua itu tertolak.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah x)2. Terhalangnya rtaubat mereka selama masih terus melakukan kebid’ahan itu. Rasulullah bersabda:“Allah menghalangi taubat setiap pelaku bid’ah sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” (HR. Ibnu Abi Ashim dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam As Shahihah no. 1620 dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim hal. 21)3. bersabda Rasulullah: Pelaku bid’ah akan mendapat laknat karena:“Barangsiapa yang berbuat bid’ah, atau melindungi kebid’ahan, maka dia akan mendapat laknat Dari Allah, Para malaikat dan seluruh manusia.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Ali bin Abi Thalib z).Akhirnya, wahai kaum muslimin, hendaklah kita menjauhi semua kebid’ahan ini setelah mengetahui betapa besar bahayanya bid’ah. Selain kita menjauhi bid’ah itu sendiri, juga kita diperintah untuk menjauhi para pelakunya apalagi juru-juru dakwah yang mengajak kepada pemikiran-pemikiran bid’ah ini. Seandainya ada yang mengatakan: Bukankah mereka orang yang baik dan apa yang mereka sampaikan itu adalah baik juga? Hendaklah :Ikita ingat firman Allah “Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri.” (Al-Anfal: 23)Perlu pula kita ketahui bahwa bid’ah itu lebih berbahaya dari kemaksiatan. Seseorang yang bermaksiat dia akan merasa takut dan melakukannya dengan sembunyi-sembunyi atau melarikan diri setelah berbuat. Sedangkan pelaku bid’ah semakin tenggelam dalam kebid’ahannya dia akan semakin merasa yakin bahwa dia di atas kebenaran. Satu lagi, bid’ah itu adalah posnya (pengantar kepada) kekufuran.Wallahu a’lam. Semoga Allah tetap membimbing kita mendapatkan hidayah dan taufik-Nya serta menyelamatkan diri dan keluarga kita dari bid’ah ini.Sumber Bacaan:1 Al-Qaulul Mufid (2), Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin2 Al-Qaulul Mufid, Asy-Syaukani3 Al-I’tisham (1), Asy-Syathibi4 Al-Luma’, As-Sahibani5 Al-Bid’ah wa Atsaruhas Sayyi‘, Salim Al-Hilali6 Al-Bid’ah wa Atsaruha, ‘Ali Al-Faqihi7 Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil8 Taisir Al-Karimir Rahman, As-Sa’di

Senin, 15 Juni 2009

tes

tes

tes lagi

Minggu, 14 Juni 2009

Hukum Perayaan Valentine

Hukum Perayaan Valentine Day


* Valentine Hari Raya Mengenang Pendeta !!! *

Pada suatu pagi Desy mengejutkan teman-temannya dengan setangkai bunga merah yang ia letakkan di atas dadanya, serta merta mereka menyambutnya dengan senyuman sambil bertanya, "Dalam rangka apa ini?" Desy menjawab, "Tidakkah kalian tahu bahwa ini adalah hari kasih-sayang di mana orang-orang sedang merayakan dan saling memberikan ucapan selamat. Ini adalah perayaan untuk mengungkapkan rasa cinta, romantika dan segala ketulusan, ini adalah Hari Valentine...". Tetapi Sari, salah seorang temannya bertanya kepada Desy dengan penuh keheranan, "Apakah arti Valentine?" Desy menjawab, "Artinya adalah cinta dalam bahasa latin ..!" Sari tertawa mendengar jawaban tersebut, "Apakah kamu merayakan sesuatu yang tidak kamu mengerti artinya? Tahukah kamu bahwa Valentine adalah seorang pendeta Nashrani yang hidup pada abad ke 3 M?" Kata Sari bernada prihatin terhadap keadaan sebagian putri muslimah yang mudah mengikuti apa saja yang sampai kepada mereka tanpa berpikir panjang.

SEJARAH HARI VALENTINE
Sari melanjutkan: "Ensiklopedia Katolik menyebutkan tiga versi tentang Valentine, tetapi versi terkenal adalah kisah Pendeta St.Valentine yang hidup di akhir abad ke 3 M di zaman Raja Romawi Claudius II. Pada tanggal 14 Februari 270 M Claudius II menghukum mati St.Valentine yang telah menentang beberapa perintahnya." "Claudius II melihat St.Valentine mengajak manusia kepada agama nashrani lalu dia memerintahkan untuk menangkapnya. Dalam versi kedua, Claudius II memandang para bujangan lebih tabah dalam berperang daripada mereka yang telah menikah yang sejak semula menolak untuk pergi berperang. Maka dia mengeluarkan perintah yang melarang pernikahan. Tetapi St.Valentine menentang perintah ini dan terus mengadakan pernikahan di gereja dengan sembunyi-sembunyi sampai akhirnya diketahui lalu dipenjarakan. Dalam penjara dia berkenalan dengan putri seorang penjaga penjara yang terserang penyakit. Ia mengobatinya hingga sembuh dan jatuh cinta kepadanya. Sebelum dihukum mati, dia mengirim sebuah kartu yang bertuliskan "Dari yang tulus cintanya, Valentine." Hal itu terjadi setelah anak tersebut memeluk agama nashrani bersama 46 kerabatnya."
Lanjut Sari: "Versi ketiga menyebutkan ketika agama nashrani tersebar di Eropa, di salah satu desa terdapat sebuah tradisi Romawi yang menarik perhatian para pendeta. Dalam tradisi itu para pemuda desa selalu berkumpul setiap pertengahan bulan Februari. Mereka menulis nama-nama gadis desa dan meletakkannya di dalam sebuah kotak, lalu setiap pemuda mengambil salah satu nama dari kotak tersebut, dan gadis yang namanya keluar akan menjadi kekasihnya sepanjang tahun. Ia juga mengirimkan sebuah kartu yang bertuliskan "dengan nama tuhan Ibu, saya kirimkan kepadamu kartu ini."
Sambung Sari: "Akibat sulitnya menghilangkan tradisi Romawi ini, para pendeta memutuskan mengganti kalimat "dengan nama tuhan Ibu" dengan kalimat "dengan nama Pendeta Valentine" sehingga dapat mengikat para pemuda tersebut dengan agama Nashrani."

"Versi lain mengatakan St.Valentine ditanya tentang Atharid, tuhan perdagangan, kefasihan, makar dan pencurian, dan Jupiter, tuhan orang Romawi yang terbesar. Maka dia menjawab tuhan-tuhan tersebut buatan manusia dan bahwasanya tuhan yang sesungguhnya adalah Isa Al Masih," papar Sari, "Maha Tinggi Allah dari apa yang dikatakan oleh orang-orang yang dzalim tersebut."
"Bahkan saat ini beredar kartu-kartu perayaan keagamaan ini dengan gambar anak kecil dengan dua sayap terbang mengitari gambar hati sambil mengarahkan anak panah ke arah hati yang sebenarnya merupakan lambang tuhan cinta bagi orang-orang Romawi!!!" Demikian Sari mengakhiri nasihatnya.

# HUKUM MERAYAKAN HARI VALENTINE #
Saat ini banyak ABG muslimah yang terkena penyakit ikut-ikutan dan mengekor pada budaya Barat atau nashrani akibat pengaruh TV dan media massa lainnya. Termasuk pula dalam hal ini perayaan Hari Valentine, yang pada dasarnya adalah mengenang kembali pendeta St.Valentine. Keinginan untuk ikut-ikutan memang ada dalam diri manusia, akan tetapi hal tersebut menjadi tercela dalam Islam apabila orang yang diikuti berbeda dengan kita dari sisi keyakinan dan pemikirannya.
Apalagi bila mengikuti dalam perkara akidah, ibadah, syi'ar dan kebiasaan. Padahal Rasul telah melarang untuk mengikuti tata cara peribadatan selain Islam: "Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut." (HR. At-Tirmidzi). Bila dalam merayakannya bermaksud untuk mengenang kembali Valentine maka tidak disangsikan lagi bahwa ia telah kafir, adapun bila ia tidak bermaksud demikian maka ia telah melakukan suatu kemungkaran yang besar. Ibnul Qayyim berkata, "Memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan, "Selamat hari raya!" dan semisalnya. Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu merupakan perbuatan haram. Berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyembah salib. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh. Banyak orang yang kurang mengerti agama terjerumus dalam suatu perbuatan tanpa menyadari buruknya perbuatan tersebut.
Seperti orang yang memberi selamat kepada orang lain atas perbuatan maksiat, bid'ah atau kekufuran maka ia telah menyiapkan diri untuk mendapatkan kemarahan dan kemurkaan Allah." Abu Waqid radhiyallah 'anhu meriwayatkan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat keluar menuju perang Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik, yang disebut dengan Dzaatu Anwaath, biasanya mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzaatu Anwaath, sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath." Maka Rasulullah n bersabda, "Maha Suci Allah, ini seperti yang
diucapkan kaum Nabi Musa, 'Buatkan untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan.' Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada sebelum kalian." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih).
Adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala' dan bara' (loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu'min dan membenci orang-orang kafir, memusuhi dan menyelisihi mereka. Serta mengetahui bahwa sikap seperti ini di dalamnya terdapat kemaslahatan yang tidak terhingga, sebaliknya gaya hidup yang menyerupai orang kafir justru mengandung kerusakan yang lebih banyak.
Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang, lagi pula, menyerupai kaum kafir dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (Al-Maidah:51)
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya." (Al-Mujadilah: 22)
"Dan janganlah belas kasihan kepada kedua pezina tersebut mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat." (An-Nur: 2)
Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah; ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah As-Sunnah. Tidak ada suatu bid'ah pun yang dihidupkan kecuali saat itu ada suatu sunnah yang ditinggalkan. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memper-banyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka'at shalatnya membaca, "Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." (Al-Fatihah:6-7)
Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela.
Ada seorang gadis mengatakan, bahwa ia tidak mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang memperingatinya. Ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi perayaan ini adalah dari ritual agama lain! Hadiah yang diberikan sebagai ungkapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta kristiani dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka. Mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang


sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda.
Alhamdulillah, kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa mempersembahkan itu kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, saudara, suami .dst, tapi hal itu tidak kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir.
Semoga Allah senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas Langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan: "Kecintaan-Ku adalah bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, yang saling mengunjungi karena Aku dan yang saling berkorban karena Aku." (Al-Hadits).

# FATWA ULAMA:#
Pertanyaan:
Pada akhir-akhir ini ini telah tersebar dan membudaya perayaan hari Valentine -terutama di kalangan pelajar putri, padahal ia merupakan salah satu dari sekian macam hari raya kaum Nasrani. Biasanya pakaian yang dikenakan berwarna merah lengkap dengan sepatu, dan mereka saling tukar mawar merah. Bagaimana hukum merayakan hari Valentine ini, dan apa pula saran dan anjuran anda kepada kaum muslimin. Semoga Allah selalu memelihara dan melindungi anda.

Jawab:
Assalamu 'alaikum wr. wb. Merayakan hari valentine itu tidak boleh, karena:
Pertama : ia merupakan hari raya bid'ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari'at Islam.
Kedua : ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) - semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya. Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan.

Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.



Diterbitkan Oleh :
Dept. Riset & Informasi
Yayasan Al-Sofwa

Dampak Medis Sholat Tahajjud

DAMPAK MEDIS SHOLAT TAHAJJUD


Sholat Tahajjud ternyata tak hanya membuat seseorang yang melakukannya mendapatkan tempat (maqam) terpuji di sisi Allah (Qs Al-Isra:79) tapi juga sangat penting bagi dunia kedokteran. Menurut hasil penelitian Mohammad Sholeh, dosen IAIN Surabaya, salah satu shalat sunah itu bisa membebaskan seseorang dari serangan infeksi dan penyakit kanker.

Tidak percaya?

Cobalah Anda rajin-rajin sholat tahajjud. "Jika anda melakukannya secara rutin, benar, khusuk, dan ikhlas, niscaya Anda terbebas dari infeksi dan kanker". Ucap Sholeh. Ayah dua anak itu bukan 'tukang obat' jalanan. Dia melontarkan pernyataanya itu dalam desertasinya yang berjudul 'Pengaruh Sholat tahajjud terhadap peningkatan Perubahan Response ketahanan Tubuh Imonologik: Suatu Pendekatan Psiko-neuroimunologi"
Dengan desertasi itu, Sholeh berhasil meraih gelar doktor dalam bidang ilmu kedokteran pada Program Pasca Sarjana Universitas Surabaya, yang dipertahankannya Selasa pekan lalu. Selama ini, menurut Sholeh, tahajjud dinilai hanya merupakan ibadah salat tambahan atau sholat sunah.
Padahal jika dilakukan secara kontinu, tepat gerakannya, khusuk dan ikhlas, secara medis sholat itu menumbuhkan respons ketahannan tubuh (imonologi) khususnya pada imonoglobin M, G, A dan limfosit-nya yang berupa persepsi dan motivasi positif, serta dapat mengefektifkan kemampuan individu untuk menanggulangi masalah yang dihadapi (coping).
Sholat tahajjud yang dimaksudkan Sholeh bukan sekedar menggugurkan status sholat yang muakkadah (Sunah mendekati wajib). Ia menitik-beratkan pada sisi rutinitas sholat, ketepatan gerakan, kekhusukan, dan keikhlasan.
Selama ini, kata dia, ulama melihat masalah ikhlas ini sebagai persoalan mental psikis. Namun sebetulnya soal ini dapat dibuktikan dengan tekhnologi kedokteran. Ikhlas yang selama ini dipandang sebagai misteri, dapat dibuktikan secara kuantitatif melalui sekresi hormon kortisol.
Parameternya, lanjut Sholeh, bisa diukur dengan kondisi tubuh. Pada kondisi normal, jumlah hormon kortisol pada pagi hari normalnya antara 38-690 nmol/liter. Sedang pada malam hari-atau setelah pukul 24:00 normalnya antara 69-345 nmol/liter. "Kalau jumlah hormon kortisolnya normal, bisa diindikasikan orang itu tidak ikhlas karena tertekan. Begitu sebaliknya. Ujarnya seraya menegaskan temuannya ini yang membantah paradigma lama yang menganggap ajaran agama (Islam) semata-mata dogma atau doktrin.
Sholeh mendasarkan temuannya itu melalui satu penelitian terhadap 41 responden sisa SMU Luqman Hakim Pondok Pesantren Hidayatullah, Surabaya. Dari 41 siswa itu, hanya 23 yang sanggup bertahan menjalankan sholat tahajjud selama sebulan penuh. Setelah diuji lagi, tinggal 19 siswa yang bertahan sholat tahjjud selama dua bulan. Sholat dimulai pukul 02-00-3:30 sebanyak 11* rakaat, masing masing dua rakaat empat kali salam plus tiga rakaat. Selanjutnya, hormon kortisol mereka diukur di tiga laboratorium di Surabaya (paramita, Prodia dan Klinika).
Hasilnya, ditemukan bahwa kondisi tubuh seseorang yang rajin bertahajjud secara ikhlas berbeda jauh dengan orang yang tidak melakukan tahajjud. Mereka yang rajin dan ikhlas bertahajud memiliki ketahanan tubuh dan kemampuan individual untuk menaggulangi masalah-masalah yang dihadapi dengan stabil.
"Jadi sholat tahajjud selain bernilai ibadah, juga sekaligus sarat dengan muatan psikologis yang dapat mempengaruhi kontrol kognisi. Dengan cara memperbaiki persepsi dan motivasi positif dan coping yang efectif, emosi yang positif dapat menghindarkan seseorang dari stress,"
Nah, menurut Sholeh, orang stress itu biasanya rentan sekali terhadap penyakit kanker dan infeksi. Dengan sholat tahajjud yang dilakukan secara rutin dan disertai perasaan ikhlas serta tidak terpaksa, seseorang akan memiliki respons imun yang baik, yang kemungkinan besar akan terhindar dari penyakit infeksi dan kanker. Dan, berdasarkan hitungan tekhnik medis menunjukan, sholat tahajjud yang dilakukan seperti itu membuat orang mempunyai ketahanan tubuh yang baik.Sebuah bukti bahwa keterbatasan otak manusia tidak mampu mengetahui semua rahasia atas rahmat, nikmat, anugrah yang diberikan oleh ALLAHI kepadanya. Haruskah kita menunggu untuk bisa masuk diakal kita???????
Seorang Doktor di Amerika telah memeluk Islam karena beberapa keajaiban yang di temuinya di dalam penyeli-dikannya. Ia amat kagum dengan penemuan tersebut sehingga tidak dapat diterima oleh akal fikiran.
Dia adalah seorang Doktor Neurologi. Setelah memeluk Islam dia amat yakin pengobatan secara Islam dan oleh sebab itu ia telah membuka sebuah klinik yang bernama "Pengobatan Melalui Al Qur'an" Kajian pengobatan melalui Al-Quran menggunakan obat-obatan yang digunakan seperti yang terdapat didalam Al-Quran. Di antara berpuasa, madu, biji hitam (Jadam) dan sebagainya.
Ketika ditanya bagaimana dia tertarik untuk memeluk Islam maka Doktor tersebut memberitahu bahwa sewaktu kajian saraf yang dilakukan, terdapat beberapa urat saraf di dalam otak manusia ini tidak dimasuki oleh darah. Padahal setiap inci otak manusia memerlukan darah yang cukup untuk berfungsi secara yang lebih normal.
Setelah membuat kajian yang memakan waktu akhirnya dia menemukan bahwa darah tidak akan memasuki urat saraf di dalam otak tersebut melainkan ketika seseorang tersebut bersembahyang yaitu ketika sujud.
Urat tersebut memerlukan darah untuk beberapa saat tertentu saja. Ini artinya darah akan memasuki bagian urat tersebut mengikut kadar sembahyang 5 waktu yang di wajibkan oleh Islam.
Begitulah keagungan ciptaan AllahI. Jadi barang siapa yang tidak menunaikan sembahyang maka otak tidak dapat menerima darah yang secukupnya untuk berfungsi secara normal. Oleh karena itu kejadian manusia ini sebenarnya adalah untuk menganut agama Islam "sepenuhnya" karena sifat fitrah kejadiannya memang telah dikaitkan oleh AllahI dengan agamanya yang indah ini.

Kesimpulannya:

Makhluk AllahI yang bergelar manusia yang tidak bersembahyang apalagi bukan yang beragama Islam walaupun akal mereka berfungsi secara normal tetapi sebenarnya di dalam sesuatu keadaan mereka akan hilang pertimbangan di dalam membuat keputusan secara normal. Justru itu tidak heranlah manusia ini kadang-kadang tidak segan-segan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan fitrah kejadiannya walaupun akal mereka mengetahui perkara yang akan dilakukan tersebut adalah tidak sesuai dengan kehendak mereka karena otak tidak bisa untuk memper-timbangkan secara lebih normal. Maka tidak heranlah timbul bermacam-macam gejala-gejala sosial masya-rakat saat ini.

Kesalahan Umum Dalam Sholat

Kesalahan Umum Berkaitan dengan Shalat


Shalat adalah amal pertama yang dihisab Allah. Jika shalat seseorang baik maka baik pula seluruh amalnya. Demikian pun sebaliknya. Tetapi ironinya, banyak umat Islam yang melalaikan urusan shalat. Berikut ini yang sering dilalaikan sebagian umat Islam dalam hal shalat.

1. Meninggalkan shalat sama sekali .
Ini adalah suatu kekufuran berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah dan ijma'. Allah berfirman, artinya: "Apakah yang membuat kalian masuk ke dalam Nera-ka Saqar?' Mereka menjawab, '(Karena) kami dulu tidak termasuk orang-orang yang mendirikan shalat'." (Al-Muddatstsir: 4).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallambersabda, artinya: "Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, barang-siapa meninggalkannya maka dia telah kafir." (HR. Ahmad dan lainnya, shahih). Adapun dalil dari ijma' adalah ucapan Abdullah bin Syaqiq : "Para sahabat Rasulullah tidak berpendapat ada suatu amalan yang jika ditinggal-kan menjadikan kufur kecuali masalah shalat." (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan lainnya dengan sanad shahih).

2. Mengakhirkan shalat.
Sebab ia bertentangan dengan firman Allah, artinya: "Sesungguhnya shalat itu wajib atas orang-orang beriman pada waktu yang telah ditentukan." (An-Nisa':103). Karena itu, menga-khirkan shalat tanpa udzur yang dibolehkan syara' adalah dosa besar.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya: "Itu adalah shalat orang munafik. Ia duduk menunggu matahari, sampai jika matahari telah berada di antara dua tanduk setan (hendak teng-gelam) ia berdiri dan menukik empat rakaat, sedang ia tidak mengingat Allah di dalamnya kecuali sedikit." (HR. Muslim).

3. Meninggalkan shalat berjamaah.
Shalat berjamaah adalah wajib kecuali bagi orang yang memiliki udzur yang dibolehkan syara'. Rasulullah Saw bersabda, artinya: "Siapa yang mendengarkan seruan adzan tetapi tidak memenuhinya maka tidak ada shalat baginya, kecuali karena udzur." (HR. Ibnu Majah dan lainnya dengan sanad kuat). Allah berfirman, artinya: "Dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'." (Al-Baqarah: 43).
Rasulullah Saw bersabda, artinya: "Kemudian aku mengutus (utusan) kepada orang-orang yang tidak shalat berjamaah, sehingga aku bakar rumah-rumah mereka." (Muttafaq Alaih). Dan cukuplah bagi mereka yang menginginkan syi'ar Islam dengan memulai lewat gerakan shalat berjama'ah.

4. Tidak thuma'ninah dalam shalat.
Thuma'ninah adalah rukun shalat. Shalat tidak sah jika tidak thuma'ninah. Thuma'ninah artinya, tenang ketika sedang ruku', i'tidal, sujud dan duduk antara dua sujud. Tenang di sini maksudnya, sampai tulang-tulang kembali pada posisi dan persendiannya, tidak tergesa-gesa dalam pergantian dari satu rukun ke rukun lainnya.
Demikianlah, sehingga Nabi Muhammad kepada orang yang tergesa-gesa dalam shalatnya dan tidak thuma'ninah bersabda, artinya: "Kembali dan shalatlah, sesungguhnya engkau belum shalat."

5. Tidak khusyu' dan banyak gerakan dalam shalat.
Allah memuji orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya. Allah berfirman, artinya: "(Yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya." (Al-Muk-minun: 2). Karena itu, hendaknya setiap orang yang shalat, khusyu' dalam shalatnya, se-hingga memperoleh pahala yang sempurna.

6. Mendahului atau menyelisihi imam.
Ini bisa mengakibatkan batalnya shalat atau raka'at. Karena itu, hendaknya makmum mengikuti imam, tidak mendahului atau terlambat daripada-nya, baik satu rukun atau lebih. Rasulullah Saw bersabda, artinya: "Sesungguhnya diadakannya imam itu untuk diikuti, karena itu jika ia bertakbir maka bertakbirlah, dan jangan kalian bertakbir sampai ia bertakbir, dan jika ia ruku' maka ruku'lah dan jangan kalian ruku' sampai dia ruku'..." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

7. Bangun dari duduk untuk menyempurnakan raka'at sebelum imam selesai dari salam yang kedua.

8. Memandang ke langit (atas) atau menoleh ke kiri dan ke kanan ketika shalat.
Hal ini telah diancam oleh Nabi Muhammad, artinya: "Hendaklah orang-orang mau berhenti dari mendongakkan pandangannya ke langit ketika shalat atau Allah tidak me-ngembalikan pandangannya kepada mereka." (HR. Muslim).
Adapun menoleh yang tidak diperlukan maka hal itu mengurangi kesempurnaan shalat, dan jika sampai lurus ke arah lain maka hal itu membatalkan shalat. Rasulullah bersabda, artinya: "Jauhilah dari menoleh dalam shalat, karena sesung-guhnya ia adalah suatu kebinasaan." (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkannya).

9. Mengenakan pakaian tipis yang tidak menu-tupi aurat.
Hal ini membatalkan shalat, karena menutup aurat merupakan syarat sahnya shalat.

10. Tidak memakai kerudung dan menutupi tela-pak kaki bagi wanita.
Aurat wanita dalam shalat adalah seluruh tu-buhnya kecuali wajah dan telapak tangan (termasuk punggungnya). Ummu Salamah ditanya tentang pakaian shalat wanita. Beliau menjawab : "Hendak-nya ia shalat dengan kerudung, dan baju kurung panjang yang menutupi kedua telapak kakinya."

11. Lewat di depan orang yang sedang shalat.
Rasulullah bersabda, artinya: "Seandainya orang yang lewat di depan orang shalat itu mengetahui dosanya, tentu berhenti (me-nunggu) empat puluh (tahun) lebih baik baginya daripada lewat di depannya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

12. Tidak melakukan takbiratul ihram ketika men-dapati imam sedang ruku'.
Takbiratul ihram adalah rukun shalat karena itu ia wajib dilakukan dan dalam keadaan berdiri, baru kemudian mengikuti imam yang sedang ruku'.

13. Tidak langsung mengikuti keadaan imam ketika masuk masjid.
Orang yang masuk masjid hendaknya langsung mengikuti imam, baik ketika itu ia sedang duduk, sujud atau lainnya (tentunya setelah takbiratul ihram, sebagaimana disebutkan di muka). Rasulullah bersabda, artinya: "Jika kalian datang untuk shalat dan kami sedang sujud, maka sujudlah!" (HR. Abu Daud, shahih).

14. Melakukan sesuatu yang melalaikannya dari shalat .
Ini menunjukkan bahwa dia lebih menuruti hawa nafsu daripada menta'ati Allah. Betapa banyak orang yang tetap sibuk dengan pekerjaannya, me-nonton TV, ngobrol dan sebagainya semen-tara seruan adzan telah berkumandang. Padahal melalaikan shalat dan mengingat Allah adalah suatu bencana besar. Allah berfirman, artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalai-kanmu dari mengingat Allah, barangsiapa melakukan demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi." (Al-Munafiqun: 9).

15. Memejamkan mata ketika shalat tanpa kepe-rluan .
Ini adalah makruh. Ibnu Qayyim berkata, 'Nabi Muhammad tidak mencontohkan shalat dengan memejamkan mata.' Akan tetapi jika memejamkan mata tersebut diperlukan misalnya, karena di hadapannya ada lukisan atau sesuatu yang menghalangi kekhusyu'-annya maka hal itu tidak makruh.

16. Makan atau minum dalam shalat.
Ini membatalkan shalat. Ibnul Mundzir berkata, 'Para ahli ilmu sepakat bahwa orang yang shalat dilarang makan dan minum.'Karena itu, bila masih terdapat sisa makanan di mulut, seseorang yang sedang shalat tidak boleh menelannya tetapi hendaknya mengeluarkannya dari mulutnya.

17. Tidak meluruskan dan merapatkan barisan.
Nabi Muhammad bersabda, artinya: "Kalian mau meluruskan barisan-barisan kalian atau Allah akan membuat perselisihan di antara hati-hati kalian." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Adapun rapatnya barisan, sebagaimana yang dipraktekkan para sahabat adalah pundak dan telapak kaki seseorang merapat dengan pundak dan telapak kaki kawannya.

18. Imam tergesa-gesa dalam shalatnya dan tidak thuma'ninah,
Sehingga menjadikan makmum juga tergesa-gesa, tidak thuma'ninah dan tidak sempat mem-baca Fatihah. Setiap imam akan ditanya tentang shalat-nya, dan thuma'ninah adalah rukun, karena itu ia wajib atas imam karena dia adalah yang diikuti.

19. Tidak memperhatikan sujud dengan tujuh anggota.
Nabi Muhammad bersabda, arti-nya: "Kami diperintah-kan untuk sujud dengan tujuh anggota; kening dan beliau mengisyaratkan dengan tangannya sampai ke hidungnya, dua tangan, dua lutut dan dua telapak kaki." (Muttafaq Alaih).

20. Membunyikan ruas jari-jari ketika shalat.
Ini adalah makruh. Ibnu Abi Syaibah meriwa-yatkan: "Aku shalat di sisi Ibnu Abbas dan aku membunyikan jari-jariku. Setelah selesai shalat, ia berkata, 'Celaka kamu, apakah kamu membunyikan jari-jarimu dalam keadaan shalat?"

21. Mempersilakan menjadi imam kepada orang yang tidak pantas menjadi imam.
Imam adalah orang yang diikuti, karena itu ia harus faqih (paham dalam urusan agama) dan qari' (pandai membaca Al-Qur'an). Para ulama me-netapkan, tidak boleh dipersilakan menjadi imam orang yang tidak baik bacaan Al-Qur'annya, atau yang dikenal dengan kemaksiatannya (fasiq), meskipun demikian, kalau itu terjadi maka shalat makmum tetap sah.

22. Membaca Al-Qur'an secara tidak baik dan benar.
Ini adalah kekurangan yang nyata. Karena itu, setiap muslim harus berusaha untuk membaca Al-Qur'an, terutama dalam shalatnya dengan baik dan benar. Allah berfirman, artinya: "Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan tartil." (Al-Muzzammil: 4).

23. Wanita pergi ke masjid dengan perhiasan dan wewangian.
Ini adalah kemunkaran yang tampak nyata baik di bulan Ramadhan atau di waktu lainnya. Rasulullah bersabda, artinya: "Jangan melarang wanita-wanita pergi ke masjid, dan hendaknya mereka keluar dalam keadaan tidak berhias dan memakai wewangian." (HR. Ahmad dan Abu Daud, shahih).


Sumber:
al-minzhar fi bayani katsirin minal akhtha' asy-sya'iah,
Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh. (ain).

Sabtu, 13 Juni 2009

Bid'ah (Pengertian dan Kesesatan bid'ah)

Pengertian dan Kesesatan Bid'ah


Sesungguhnya agama islam ini sudah sempurna dan sudah cukup sebagai pedoman hidup manusia di dunia. Allah berfirman, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agama-mu, telah Aku cukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Aku ridhai islam sebagai agamamu.“ (Al-Maidah : 3)
Dan Rasulullah J telah menjelaskan aga-ma ini semuanya dengan terng benderang tanpa ada yang tertinggal sedikitpun. Rasulullah J bersabda,
“Tidak ada sesuatu yang bisa mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan kepadamu.”
Abu Dzar Al-Ghifari berkata : “Rasulullah meninggalkan kita dalam keadaan tidak ada seekor burungpun yang membolak-balikkan kedua sayap-nya di udara kecuali memberitakan ilmu kepada kita.”
Dengan demikian maka agama ini tidak perlu penambahan dan pengurangan lagi. Bahkan segala bentuk penambahan dan pengurangan agama adalah bid’ah dan sesat. Karena tidak ada lagi sesudah kebe-naran melainkan kebathilan dan tidak ada lagi sesudah petunjuk melainkan kesesatan. Rasulullah J bersabda, “Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang diada-adakan, setiap perka-ra yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.”

Pengertian bid’ah

Dr.Ibrahim bin amir Ar-Rahaili telah membahas pengertian bid’ah menurut syara’ sebagai berikut : “Beberapa ulama telah mendefinisikan bid’ah di dalam syara’ dengan banyak definisi meskipun terjadi perbe-daan di dalam lafalnya yang menyebabkan perbedaan cakupan pada bagian-bagian pengertian bid’ah. Tetapi secara keseluruhan memiliki kandungan yang sama. Diantara definisi-definisi yang terpenting ialah :
Ibnu Taimiyah berkata : ‘Bid’ah dalam agama ialah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan rasul-Nya yaitu tidak diperintahkan dengan perintah wajib atau perintah sunnah. Adapun yang diperintahkan dengan perintah wajib dan sunnah serta diketahui perintah-perintah tersebut dengan dalil-dalil syar’i, maka hal itu termasuk yang disyari’atkan oleh Allah, meskipun terjadi perselisihan diantara ulama di beberapa masalah dan sama saja, baik hal itu sudah diamalkan pada masa Rasulullah atau tidak .‘
As-Syatibi berkata : ‘Bid’ah adalah suatu cara di dalam agama yang diada-adakan (baru) menyerupai agama dan dimaksudkan dalam melakukannya untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah ta’ala.
Ibnu Rajab berkata : ‘Yang dimaksudkan dengan bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada dasarnya di dalam syari’at. Adapun suatu yang ada dasarnya dalam syara’, maka bukan bid’ah meskipun dikatakan bid’ah menurut bahasa.’
Suyuti berkata : ‘Bid’ah ialah suatu ungkapan tentang perbuatan yang bertentangan dengan syari’at karena menyelisihinya atau perbuatan yang menjadikan adanya penambahan dan pengurangan syari’at. ‘
Dari definisi-definisi di atas dapat diambil pokok-pokok pengertian bid’ah menurut syara’ secara sebagai berikut :
Bid’ah ialah sesuatu yang diadakan di dalam agama. Maka tidak termasuk bid’ah sesuatu yang diadakan di luar agama untuk kemaslahatan dunia seperti pengadaan hasil-hasil industri dan alat-alat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi.
Bid’ah tidak memiliki dasar yang menun-jukkannya dalam syari’at. Adapun hal-hal yang memiliki dasar-dasar syari’at, maka bukan bid’ah meskipun tidak ada dalilnya dalam syari’at secara khusus. Contohnya pada zaman kita ini orang yang membuat alat alat seperti kapal terbang, roket, tank, dll. dari alat-alat perang modern dengan tujuan persiapan memerangi orang-orang kafir dan membela kaum muslimin. Maka perbuatannya bukan bid’ah meskipun syari’at tidak menjelaskannnya secara rinci, dan Rasulullah J tidak menggunakan alat-alat tersebut untuk memerangi orang-orang kafir. Tetapi membuatnya terma-suk dalam firman Allah secara umum, “Dan persiap-kanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja.” (Al-Anfal : 60). Begitu pula perbuatan-perbuatan lain yang semisal. Maka setiap sesuatu yang memiliki dasar dalam syara’, ia termasuk syari’at dan bukan bid’ah.
Bid’ah semuanya tercela, tidak ada bid’ah hasanah sebagaimana sangkaan orang-orang yang menganggap baik bid’ah, karena bid’ah bertentangan dan berseberangan dengan syari’at. Bid’ah itu tercela semuanya. Dan semua definisi bid’ah telah menyingkap sisi yang sangat penting ini.
Bid’ah di dalam agama kadang-kadang dengan mengurang dan kadang-kadang dengan menambah, sebagaimana dijelaskan oleh As-Suyuti meskipun perlu pembatasan bahwa sebab menguranginya adalah agar lebih mantap dalam beragama. Adapun jika sebab menguranginya bukan agar lebih mantap dalam beragama, maka bukan bid’ah. Seperti meninggalkan perintah yang wajib tanpa udzur. Itu disebut maksiat bukan bid’ah begitu pula meninggalkan perkara sunnat tidak dianggap bid’ah.
Inilah beberapa hukum yang sangat penting yang terkandung dalam definisi-definisi di atas. Maka jelaslah pemahaman bid’ah dalam agama, dan jelas pula kaidah-kaidah yang dalam pendefinisiannya.
Menurut pendapat saya (Dr.Ibrahim bin Amir Ar-Rahaili), bahwa definisi yang paling sempurna cakupannya terhadap hukum-hukum tersebut diatas untuk membatasi pemahaman bid’ah di dalam agama dengan batasan-batasan yang detail ialah definisi imam Asy-Syatibi.
Dengan demikian definisi Imam Asy-Syatibi tentang bid’ah adalah definisi yang terpilih atau terbaik diantara definisi-definisi yang ada karena mencakup definisi-definisi yang menyeluruh dan jelas dalam pengertian bid’ah di dalam agama.

Walllahu ’alam (As-Sunnah edisi 02/V/1421H-2001M).


By. Pepen250@nimbuzz.com

Selasa, 09 Juni 2009

Berhati-hati dengan “Salam”

Mungkin karena kesibukan, diantara kita sering menyingkat ucapan “salam” yang arti awalnya doa keselamatan justru menjadi “cacian” dan kata “jorok”. Lho bagaimana bisa?



Mungkin karena kesibukan, diantara kita sering menyingkat ucapan “salam” yang arti awalnya doa keselamatan justru menjadi “cacian” dan kata “jorok”. Lho bagaimana bisa?

Hidayatullah.com–Ucapan ”Assalamu’alaikum”, السلام عليكم, merupakan anjuran agama, dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan umat beragama, dengan salam dapat menjalin persaudaraan dan kasih sayang, karena orang yang mengucapkan salam berarti mereka saling mendo’akan agar mereka mendapat keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kalian tak akan masuk surga sampai kalian beriman dan saling mencintai. Maukah aku tunjukkan satu amalan bila dilakukan akan membuat kalian saling mencintai? Yaitu, sebarkanlah salam di antara kalian.” [HR Muslim dari Abi Hurairah]

Saya seringkali menerima sms atau e-mail dari beberapa kawan dan juga beberapa ustadz yang mengawali salamnya dengan singkatan. Singkatannya pun macam-macam. Ada yang singkat seperti “Asw” atau “Aslm“. Ada yang sedikit lebih panjang seperti ; “Ass Wr Wb” atau “Aslmwrwb” . Namun yang sering saya dapatkan, adalah singkatan “Ass“. Singkatan terakhir ini paling umum dan paling sering digunakan. Bagi saya, ini adalah singkatan yang tidak enak untuk dibaca, terlebih kalau mengerti artinya.

Marilah kita simak singkatan ini. Dalam kamus linguistik yang saya punya, arti dari kata Ass yang berasal dari bahasa Inggris itu adalah sebagai berikut;

“Ass” berarti: Pertama, kb. (animal) yang artinya keledai. Kedua, orang yang bodoh. Don’t be a silly (Janganlah sebodoh itu). Dan ketiga, Vlug (pantat).

Padahal seperti kita ketahui ucapan Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh adalah sebuah ucapan salam sekaligus doa yang kita tujukan kepada orang lain. Ucapan salam dalam Islam sesungguhnya merupakan do’a seorang Muslim terhadap saudara Muslim yang lain. Maka, apabila kita mengucap salam dengan hanya menuliskan “Ass“, secara tidak sadar mungkin kita malah mendoakan hal yang buruk terhadap saudara kita.

Kita paham, mungkin banyak orang diantara kita cukup sibuk dan ingin cepat buru-buru menulis pesan. Barangkali, singkatan itu bisa mempercepat pekerjaan. Karena itu, penulis menyarankan, jika memang keadaan sedang tidak memungkinkan untuk menulis salam lewat SMS dengan kalimat lengkap karena sedang menyetir di jalan, misalnya, solusinya cukup mudah adalah menulis pesan to the point saja. Tulislah “met pagi, met siang, met malam dan seterusnya. Ini masih lebih baik dibandingkan kita harus memaksakan diri menggunakan singkatan dari doa keselamatan Assalamu’alaikum menjadi “Ass” (pantat).

Jangan sampai awalnya kita ingin menyampaikan doa keselamatan yang terjadi justeru sebaliknya, mendoakan keburukan. Kalau boleh saya mengistilahkah, niat baik ingin berdoa, jadinya malah ucapan kotor.

Ucapan salam adalah ucapan penghormatan dan doa. Apabila kita dihormati dengan suatu penghormatan maka seharusnya kita membalas dengan sebuah penghormatan pula yang lebih baik, atau minimal, balaslah dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah akan memperhitungkan setiap yang kamu kerjakan.

Hasa saja, kalau kita mengganti ucapan kalimat salam arti awalnya sangat mulia, maka, yang terjadi adalah sebaliknya, salah dan bisa-bisa menjadi umpatan kotor.

Karena itu, jika tidak berhati-hati, mengganggati ucapan Assalamu’alaikum (Semoga sejahtera atasmu) dengan menyingkatnya menjadi “Ass” (pantat), ini mirip dengan mengganti doa yang baik dengan mengganti dengan bahasa jalanan orang Jakarta, yang artinya kira-kira, berubah arti menjadi (maaf) “Pantat Lu!”

Singkatan ala Rasulullah

Meski nampak sederhana, ucapan salam sudah diatur oleh agama kita (Islam). Ucapan Assalamu alaikum السلام عليكم dalam Bahasa Arab, digunakan oleh kaum Muslim. Salam ini adalah Sunnah Nabi Muhammad SAW, intinya untuk merekatkan ukhuwah Islamiyah umat Muslim di seluruh dunia. Mengucapkan salam, hukumnya adalah sunnah. Sedangkan bagi yang mendengarnya, wajib untuk menjawabnya. Itulah agama kita.

Sebelum Islam datang, orang Arab terbiasa menggunakan ungkapan-ungkapan salam yang lain, seperti Hayakallah. Artinya semoga Allah menjagamu tetap hidup. Namun ketika Islam datang, ucapan itu diganti menjadi Assalamu ‘alaikum. Artinya, semoga kamu terselamatkan dari segala duka, kesulitan dan nestapa.

Ibnu Al-Arabi didalam kitabnya Al-Ahkamul Qur’an mengatakan, bahwa salam adalah salah satu ciri-ciri Allah SWT dan berarti “Semoga Allah menjadi Pelindungmu”.

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwa Rasul bersabda, “Kamu tidak akan masuk surga hingga kamu beriman, dan kamu tidak beriman hingga kamu saling mencintai (karena Allah). Apakah kamu maujika aku tunjukkanpada satu perkara jika kamu kerjakan perkara itu maka kamu akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kamu!” (HR. Muslim)

Abu Umammah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Orang yang lebih dekat kepada Allah SWT adalah yang lebih dahulu memberi Salam.” (Musnad Ahmad, Abu Dawud, dan At Tirmidzi)

Abdullah bin Mas’ud RA meriwayatkan Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Salam adalah salah satu Asma Allah SWT yang telah Allah turunkan ke bumi, maka tebarkanlah salam. Ketika seseorang memberi salam kepada yang lain, derajatnya ditinggikan dihadapan Allah. Jika jama’ah suatu majlis tidak menjawab ucapan salamnya maka makhluk yang lebih baik dari merekalah (yakni para malaikat) yang menjawab ucapan salam.” (Musnad Al Bazar, Al Mu’jam Al Kabir oleh At Tabrani)

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang kikir yang sebenar-benarnya kikir ialah orang yang kikir dalam menyebarkan Salam.” Allah SWT berfirman didalam Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 86. Demikianlah Allah SWT memerintahkan agar seseorang membalas dengan ucapan yang setara atau yang lebih baik.

Bedanya agama kita dengan agama lain, setiap Muslim ketika mengucapkan salam kepada saudaranya, dia akan diganjar dengan kebaikan (pahala).

Dalam kaidah singkat menyingkat pun sudah diatur oleh Allah dan diajarkan kepada Rasulullah. Dalam suatu pertemuan bersama Rasulullah SAW, seorang sahabat datang dan melewati beliau sambil mengucapkan, “Assalamu ‘alaikum”. Rasulullah SAW lalu bersabda, “Orang ini mendapat 10 pahala kebaikan,” ujar beliau.

Tak lama kemudian datang lagi sahabat lain. Ia pun mengucapkan, “Assalamu‘alaikum Warahmatullah.” Kata Rasulullah SAW, “Orang ini mendapat 20 pahala kebaikan.” Kemudian lewat lagi seorang sahabat lain sambil mengucapkan, “Assalamu ‘alaikum warahmatullah wa baraokatuh.” Rasulullah pun bersabda, “Ia mendapat 30 pahala kebaikan.” [HR. Ibnu Hibban dari Abi Hurairah].

Nah dari tiga singkatan itu silahkanAnda pilih yang mana yang Anda inginkan tanpa harus menyingkatnya sendiri yang justru bisa menghilangkan nilai pahalanya. Tentu saja, jangan Anda lupakan, tiga singkatan itu sudah rumus dari Nabi yang dipilihkan untuk kita.

Satu hal lagi yang perlu diingat adalah ketika kita menuliskan kata Assalamu’alaikum, perlu diperhatikan agar jangan sampai huruf L nya tertinggal sehingga menjadi Assaamu’alaikum.

Karena apa ? Diriwayatkan bahwa dahulu ada seorang Yahudi yang memberi salam kepada Nabi dengan ucapan “Assaamu ‘alaika ya Muhammad” (Semoga kematian dilimpahkan kepadamu).

Dan kata assaamu ini artinya kematian. Kata ini adalah plesetan dari “Assalaamu ‘alaikum“. Maka nabi berkata, “Kalau orang kafir mengatakan padamu assaamu ‘alaikum, maka jawablah dengan wa ‘alaikum (Dan semoga atas kalian pula).” [HR. Bukhari]

Tulisan ini, mungkin nampak sederhana. Meski sederhana, dampaknya cukup besar. Boleh jadi, kita belum pernah membayangkannya selama ini. Nah, setelah ini, sebaiknya alangkah lebih baik jika memulai kembali menyempurnakan salam kepada saudara kita. Tapi andaikata memang kondisi tak memungkinkan, sebaiknya, pilihlah singkatan yang sudah dipilihkan Nabi kita Muhammad SAW tadi. Mungkin Anda agak capek sedikit tidak apa-apa, sementara sedikit capek, 30 pahala kebaikan telah kita kantongi. [indra yogiswara,tinggal di Jakarta/www.hidayatullah.com]

Senin, 08 Juni 2009

Taaruf, Sebuah Istilah yang Asal Keren?

Pada beberapa tahun terakhir ini, ada gejala pergeseran makna taaruf. Ada kecenderungan, taaruf tidak lagi diartikan menurut makna asli yang terkandung dalam Al-Quran, surah al-Hujurât [49], ayat 13: “Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku li ta‘ârafû (supaya kamu saling kenal). …. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”



Pada beberapa tahun terakhir ini, ada gejala pergeseran makna taaruf. Ada kecenderungan, taaruf tidak lagi diartikan menurut makna asli yang terkandung dalam Al-Quran, surah al-Hujurât [49], ayat 13: “Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku li ta‘ârafû (supaya kamu saling kenal). …. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Jadi, makna asli istilah taaruf itu adalah proses saling kenal dengan siapa pun selama hayat dikandung badan. Namun sekarang, ada banyak ikhwan yang bilang, “taaruf adalah perkenalan antara seorang ikhwan dan seorang akhwat yang akan menikah.” Bahkan, ada tak sedikit akhwat yang ngomong, “taaruf adalah proses pendekatan selama maksimal tiga bulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang akan menikah.” Aneh, ya? (Bukan hanya aneh, malah bisa jadi bid’ah sesat.)

Gimana nggak aneh? Bayangin aja. Mereka batasi makna taaruf hanya untuk pendekatan ketika akan menikah. Itu pun selama maksimal tiga bulan saja. Mereka dengung-dengungkan istilah taaruf dengan makna yang agak menyimpang dari makna yang terkandung dalam Al-Quran, surah al-Hujurât [49], ayat 13. Padahal, mereka kan rajin membaca Al-Quran. Tekun pula menyimak terjemahnya dan mengkaji isinya. Lantas, apakah mereka itu asal beda? Asal pake istilah dari bahasa Arab biar kedengaran Islami? Ataukah asal keren?

Gak usahlah kita berprasangka buruk kepada mereka. Mending kita berprasangka baik bahwa sesungguhnya sudah ada kata-kata khas yang digunakan oleh Allah dan/atau Rasul-nya ketika membicarakan perlunya pendekatan antara laki-laki dan perempuan yang hendak segera menikah. Kita cari yuuuk!

Kalau kata-kata khas tersebut seakar dengan istilah taaruf (seperti pada Al-Quran, surah al-Hujurât [49], ayat 13), maka istilah “taaruf pranikah” lebih elok daripada “taaruf” supaya tersedia ruang yang lapang bagi jenis-jenis taaruf lainnya. Seandainya kata-kata khas tersebut tidak seakar dengan istilah taaruf, kita dapat memanfaatkannya untuk merumuskan istilah lain yang lebih tepat. Dari ayat-ayat Al-Quran, aku belum menemukan kata-kata khas yang dimaksud itu. What about you?

Dari hadits-hadits Nabi yang shahih, aku telah menemukannya! Alhamdu lillaah…. Mo tau? Gini niy….

Istilah Lain Yang Lebih Tepat
Di kitab Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrîr al-Mar’at (kitab ini menghimpun hadits-hadits shahih mengenai hubungan pria-wanita), aku jumpai enam hadits shahih mengenai perlunya “pendekatan” antara laki-laki dan perempuan yang hendak segera menikah. (Lihat Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 53-56.)

Di situ, ada satu kata khas yang selalu muncul pada keenam hadits tersebut. Apakah kata khas ini seakar dengan istilah “taaruf” (saling kenal)? Tidak. Istilah taaruf atau pun kata-kata yang seakar dengannya tidak pernah muncul di situ. Kata khas yang muncul adalah “nazhar”. Kemunculannya berbentuk kata kerja “yanzhuru” (memperhatikan) dan kata perintah “unzhur” (perhatikanlah). Nah! Dari situ kita jadi ngeh, ternyata kita tidak diperintahkan untuk sekadar “taaruf” (saling kenal) bila hendak segera menikah. Yang disyariatkan dalam keadaan ini adalah “tanazhur” (saling memperhatikan).

Terus, apakah kata “nazhar” itu eksklusif khusus bagi yang hendak segera menikah? Enggak juga. Contohnya, dalam suatu riwayat yang ngetop dikabarin, Ali r.a. berwasiat: “Unzhur mâ qâla wa lâ tanzhur man qâla.” (Perhatikanlah apa yang dikatakan dan janganlah kau perhatikan siapa yang mengatakan.)

Jadi, buat ngebedain ama jenis-jenis tanazhur lainnya, istilah yang lebih tepat untuk “pendekatan” antara laki-laki dan perempuan yang hendak segera menikah adalah TANAZHUR PRANIKAH.

Mungkin bagi sebagian orang di antara kita, istilah “tanazhur pranikah” ini kedengarannya kurang keren ketimbang “taaruf” atau pun “taaruf pranikah”. Namun, kita memilih istilah bukan lantaran asal keren, ‘kan?by M Shodiq Mustika